Curhat Bermanfaat (Semoga)

Tentang Polymath, Renaissance Man, The Universalist, The Generalist.

Orion Queen
8 min readOct 28, 2018

Halo. Tiba-tiba kepikiran nulis karena aku belum menemukan kawan atau circle yang bisa diajak berdiskusi tentang isu ini. Pasti ada banyak di luar sana, cuma mungkin belum ketemu di titik tengah aja. Topik ini terbilang sangat baru buatku, baru banget! Beberapa hari yang lalu entah kenapa aku menemukan suatu artikel tentang…polymath. Mungkin terdengar asing juga bagi kalian, atau malah kalian sudah familiar dengan istilah itu? Nggak tahu, ya, kita kan belum pernah berinteraksi. Karena itu aku menulis, tentunya setelah riset kecil-kecilan di internet.

Jadi apa itu polymath? Singkatnya, polymath adalah seseorang yang memiliki minat di rentang isu atau bidang yang luas, dan nggak jarang bidang itu berseberangan satu sama lain. Istilah lain dari polymath sendiri adalah the universalist, renaissance man, the generalist. Riset kecil-kecilan ini berangkat dari keingintahuanku lebih lanjut tentunya, karena bagaimanapun, topik ini sedikit banyak memberikan justifikasi mengapa aku adalah aku (?). Sangat personal.

Sedikit bercerita, memang aku sangat-sangat menyukai melakukan banyak hal sekaligus, memiliki keterbatasan untuk fokus dalam satu minat, di mana hal itu seringkali membuatku resah tentang masa depan. Hal itu mungkin karena aku yakin kalau aku mau belajar, aku pasti bisa melakukan sesuatu yang baru kupelajari itu (sedikit narsis tapi memang benar aku yakin), dan faktanya aku suka belajar apapun.

I love learning in general and I don’t know why and how learning for me is like oxygen.

Tapi karena susah untuk fokus, besar kemungkinan aku nggak bisa expert di satu hal. Selalu berpikir nanti aku akan jadi apa? Aku punya terlalu banyak mimpi. Mimpi dari dulu ingin menjadi penyiar radio, desainer, videografer, penulis skenario, sutradara, penyanyi, aktris, menjadi duta besar Indonesia untuk Korea Selatan, menjadi pemain opera klasik, menjadi semacam psikolog atau sosiolog, menjadi ilmuwan yang meneliti jamur, menjadi ilmuwan yang meneliti sejarah bumi peradaban manusia dan semesta, menjadi aktivis yang berjuang untuk perempuan, aktivis yang berjuang di isu perdamaian, aktivis yang berjuang untuk melindungi pembantaian hiu, menjadi ahli di neuroscience, menjadi brainstormer, menjadi translator berbagai bahasa, menjadi florist, composer atau penulis lagu, menjadi pianis atau violis, menjadi konsultan rumah tangga dan relationship, menjadi mediator dalam resolusi konflik, sesimpel bekerja di perusahaan asing untuk menjadi manajer yang fokus di hubungan interpersonal, atau fall into nothingness and become less than nothing dalam rangka pencarian peranku di semesta ini. Itu belum semuanya, belum termasuk hal-hal yang menjadi hobi saja. Percaya deh.

Ternyata semua itu sedikit banyak terdeskripsikan di satu frasa: the polymath. Di sini aku nggak mendeklarasikan kalau aku seorang polymath yang notabene digambarkan hampir sempurna pada sosok Leonardo da Vinci itu. Nggak, ya. Ini hanya… a little more relate to my nature. Aku pernah bertanya kepada seorang kawan, jauh sebelum sekarang, saat keresahanku karena nggak bisa fokus itu baru dimulai. Aku sebetulnya lupa menanyakan apa (tepatnya), tapi kira-kira jawaban kawanku seperti ini: “Aku nggak mau gini, aku mau jadi expert/specialist aja.”

Aku sempat menonton siaran Ted-Talks tentang polymath di salah satu platform video (kebiasaanku sebelum tidur adalah menonton video atau podcast yang kira-kira bermanfaat, just fyi), Ella Saltmarshe berkata bahwa expertise mulai dibutuhkan pada masa industrialisasi (mungkin sampai sekarang, karena ini juga masih pada jaman industri). Manusia akan berbondong-bondong untuk menjadi ahli di suatu bidang untuk mendapatkan posisi pada pola kegiatan industri. Dengan menjadi seorang ahli, aku pikir manusia akan lebih merasa secure karena paling tidak ia akan punya tempat di dunia ini, pada era industrialisasi. Because they’re so good at something, they will be useful. Universitaspun memberikan penjurusan karena kupikir manusia memang dituntut untuk menjadi ahli dalam suatu bidang, becoming the expert, the specialist.

Mengetahui pendapat si kawanku ini, aku semakin sedih (ya nggak juga, cuma resah). Jadi maksudnya, dia nggak mau jadi manusia sepertiku? Emang apa yang salah dengan menyukai banyak hal? Bukankah hidup punya banyak aspek untuk dipelajari? Memangnya kalau nggak ahli di satu bidang, jadi nggak akan berguna buat dunia ini? Jujur, aku nggak mau jadi ahli di satu bidang aja.

I want to understand just a little bit of everything. I want to connect with so many people all at once.

Menemukan artikel mengenai polymath itu seperti pencerahan buatku. Ini adalah nature-ku yang nggak kubuat-buat. Aku memang begini, memiliki potensi alami untuk itu. Tapi aku nggak bilang aku cukup matang untuk ini semua. Banyak sekali kekurangan sebelum aku bisa benar-benar mengaktualisasikan potensiku untuk menjadi seorang polymath. Karena, siapa sih di dunia ini yang dengan sadar ingin menjadi polymath? Belum lagi ada program pasca-sarjana yang semakin menspesialisasi. Aku nggak tahu apa dunia ini sudah berubah dan mulai menghargai orang-orang generalist . Aku nggak tahu dan aku nggak peduli karena aku tetap akan dan ingin menjadi seorang generalist.

Mundur sedikit, aku sempat melakukan internship di suatu NGO yang fokus di bidang persamaan gender dan kekerasan terhadap perempuan. Di akhir magang, aku meminta para staff untuk memberikan kesan pesan dalam satu kertas metaplan tentang aku dengan sejujur-jujurnya, kalau bisa malah dalam bentuk kritik. Tapi setelah membaca satu-satu pesan dari mereka, rasanya aku benar-benar terharu. Aku nggak pernah tahu rasanya diapresiasi sebegitu besarnya atas diriku yang versatile ini dan haus akan pengetahuan, haus untuk ingin tahu dan belajar hal baru., untuk terkoneksi dengan seluruh individu dengan berbagai karakter. Mereka mengapresiasi itu. Inilah yang membuat aku menjadi percaya diri untuk tidak menjadi seorang ahli di satu bidang saja. Aku ingin tahu banyak hal dan mampu untuk mengaktualisasikan setiap potensi dalam setiap bidang yang aku gemari.

Kembali ke topik, aku ingin membahas mengenai kualitas-kualitas apa saja yang dimiliki oleh seorang polymath. Ini berdasarkan riset di berbagai media, yang mana aku coba simpulkan sebagaimana aku mengartikulasikannya. Sebelumnya, aku ingin mengklarifikasi bahwa aku sangat-sangat salut dengan para ahli atau monomath di dunia ini, aku pernah ingin menjadi mereka, dan aku sangat menghormati mereka karena mereka bisa melakukan apa yang nggak bisa aku lakukan yaitu be focused and in depth learning. Kesalutanku terhadap mereka luar biasa, nggak bohong. Kok ada ya orang sekeren mereka? Tapi aku juga tidak ingin dunia ini untuk mendiskredit orang-orang yang secara alami tidak memiliki keinginan ataupun kapasitas untuk menjadi seorang ahli di satu bidang.

Secara natural, seorang polymath senang belajar. Belajar secara umum, topik apapun. And being passionate about it.. Yang membedakan, tidak semua orang senang dengan “apapun”. Orang-orang ini ingin tahu tentang semua hal karena semua hal adalah menarik baginya untuk dipelajari. Yang membedakan, sebagian orang menganggap sesuatu menarik itu hanya yang dekat dengan bidangnya. Polymath tertarik dengan hal-hal yang ia tidak tahu, monomath tertarik dengan hal-hal yang mereka tahu (dan mereka benar-benar mempelajarinya secara intens).

Pada konteksku, ini betul. Aku suka belajar semua hal, terlebih hal-hal yang aku benar-benar tidak tahu sama sekali. Aku adalah seseorang yang jika diberi semua fasilitas yang ada di dunia ini, aku akan menggunakannya sebaik-baiknya. Tanpa terkecuali. Jika aku memiliki fasilitas untuk belajar menunggang kuda dan memanah, aku dengan senang hati melakukannya. Jika memungkinkan aku belajar menjadi barista, aku juga akan senang mempelajarinya. Jika aku punya piano di rumah sejak kecil, pasti sekarang aku akan bisa memainkan semua lagu Chopin dan Tchaikovsky. Jika aku memiliki akses untuk belajar cara mengendarai helikopter, aku nggak akan segan untuk mencobanya. Jika aku ditugaskan untuk misi kemanusiaan di tempat konflik sekalipun, kenapa tidak. Semua hal mungkin, jiika kita mau belajar.Dan lebih menyenangkan kalau kita memang secara alami senang belajar. Aku menemukan banyak orang yang sangat resisten terhadap sesuatu yang baru dan aku paham itu, but I just can’t relate.

“Aku yakin aku bisa kalau aku mempelajarinya” itu moto hidupku, by the way.

Dengan “tahu” atau paling tidak “memiliki perspektif” dalam banyak hal, buatku adalah keuntungan terbesar karena aku bisa menjalin koneksi dengan semua orang. Semua, in literal way. I’m people people, I love people and I love interacting with them. Orang punya concern yang berbeda-beda, walaupun aku (pada pendidikan formal) belajar mengenai politik, aku juga ingin bisa berinteraksi dengan orang ekonomi, dengan orang psikologi, orang teknik lingkungan, arsitek, orang hukum. Semuanya. Keuntungan lain adalah aku nggak akan merasa ahli (karena aku tidak). Aku merasa nggak butuh tahu banyak tentang sesuatu untuk berkoneksi dengan orang lain. Justru aku bisa menjadikan interaksi itu sebagai cara menyerap ilmu dan informasi. Misalkan aku hanya paham mengenai Hukum Internasional, sedangkan aku berhadapan dengan orang dengan basic Hukum Perdata yang menangani masalah sengketa. Maka aku akan bisa mendapat informasi tentang sengketa dengan mendengarkan orang tersebut bercerita tentang itu. Misalkan aku paham sedikit tentang ekonomi makro, maka aku bisa mendapat pengetahuan lebih tentang itu saat berinteraksi dengan orang ekonomi. “Sebenarnya ekonomi makro itu gimana, sih?” informasi baru, pengetahuan baru. Menyenangkan, bukan?

“Hah menyenangkan apanya, sih?”

HEHE setidaknya menurutku! Daan… sedikit perspektif tentang universitas dan outputnya. Secara personal aku memang tidak tertarik menjadi seorang ahli, jika aku bisa, aku malah ingin mendirikan universitas yang dia bisa memilih untuk belajar semua sekaligus cabang ilmu yang diminati. Tidak ada penjurusan. Setiap mahasiswa bisa memilih dan mengambil banyak kelas dari sub-cabang ilmu sekaligus misalnya mengambil kelas psikologi, kriminologi, informatika, desain grafis, neurosains, termodinamika, hukum agraria, bahasa, teknologi pangan, sastra, dan sejarah sekaligus. Lalu pertanyaannya, bagaimana mereka bisa berguna pada era di mana industri masih digadang-gadang ini? Kira-kira siapa yang akan mempekerjakan mereka? Oh well, kita semua bisa saja lack of capacity karena terlalu terserap pada suatu bidang. Misalkan begini, apa yang akan terjadi jika guru SMA yang ahli mengajar tapi tidak memilki kapasitas manajerial perorangan tentang psikologi remaja, seorang legislatif yang ahli dalam membuat kebijakan tapi tidak humanis, seorang aktivis sosial yang buta hukum dan politik, seorang politisi yang tidak memiliki skill negosiasi, seorang produsen yang ahli memproduksi tapi buta marketing, seorang pejabat industri yang tidak sadar lingkungan. Bukankan sekarang ini mixed skill sangat diperlukan?

Aku nggak tahu apakah ini melenceng jauh dari topik polymath atau tidak, tapi kita kembali lagi ke topik utama. Mengutip dari gainwightjournal.com, beberapa ciri dari seorang polymath yang kayaknya nggak perlu aku jelaskan detilnya, di antaranya: 1) memiliki rasa ingin tahu tinggi 2) pengambil resiko 3) kreatif 4) memiliki kegigihan 5) haus akan pengetahuan dan pengalaman baru 6) memiliki keunggulan di beberapa aspek baik secara fisik, intelektualitas, seni, dan sosial dan paling tidak memiliki satu keahlian di antara aspek-aspek tersebut.

Jadi apakah kalian pernah merasa sangat tidak memiliki arah karena kalian menyukai banyak hal? Atau kalian pernah merasa iri dengan orang-orang yang sudah memantapkan jalan hidupnya di satu bidang? Atau kalian merasa tidak pernah bisa memilih mimpi apa yang ingin kalian wujudkan? Bisa jadi kalian adalah seorang polymath. Saranku, tidak usah berkecil hati. Coba riset tentang polymath, renaissance man, generalist, universalist lebih lanjut supaya kalian paham kalau kalian juga memiliki tempat di dunia ini, supaya kalian mengenal lebih jauh diri kalian. Kenyataan bahwa banyak artikel menulis tentang “how to become a polymath” secara nggak sadar memberikan suatu ketenangan kalau ada orang-orang di luar sana yang ingin menjadi seperti kalian. Kalian akan tetap bisa menjadi ahli di satu bidang, sekaligus peminat bidang-bidang lain. Dan kalau memang kalian merasa seperti itu, tolong hubungi aku agar kita bisa saling berbagi saran haha! Karena tulisan ini dipicu oleh impulsivitasku, maka kalau misalkan ada yang terlewat atau ada penemuan lebih lanjut, aku akan bikin part 2-nya. Maafkan curhatan yang panjang ini, semoga bermanfaat, dan terima kasih sudah baca!

Salam, aku lebih suka Jack of all trades, an expert to one.

--

--

Orion Queen

ENFP. personal blog— almost a diary. passionate about words, a constant writer of poetry . Indonesian.